Ilustrasi pertemanan. ANTARA/HO-Pixabay
Jakarta (ANTARA) – Psikolog klinis Maria Alyssia, M.Couns. & PsychTh menyarankan langkah yang bisa dilakukan di tengah menghadapi perbedaan pendapat dengan teman terutama terkait suasana politik tanpa harus memutus hubungan.
“Secara umum, kita tidak selalu perlu memutus pertemanan hanya karena perbedaan pendapat. Karena perbedaan itu wajar dalam relasi yang sehat,” kata Alyssia, ketika dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis.
Psikolog yang tergabung dalam Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia itu mengatakan jika perbedaan pendapat itu menimbulkan tekanan berlebihan atau tidak dihargai seperti merendahkan atau melewati batasan, perlunya memberi jarak sesaat dengan teman tersebut.
Dalam mengambil jarak tersebut, kata Maria, tidak sama dengan memutus hubungan pertemanan.
“Kadang kita hanya butuh ruang untuk menenangkan diri, memutuskan apa yang harus dilakukan selanjutnya, dan menjaga kesehatan mental kita sendiri,” kata psikolog lulusan magister di University of Adelaide, Australia itu.
Hal ini lantaran jika terus memaksakan pandangan yang berbeda pendapat, lanjut Alyssia, justru bisa menimbulkan dampak buruk secara psikologis baik bagi diri sendiri maupun teman tersebut.
Baca juga: Psikolog: Orang introver butuh lebih banyak ruang dalam pertemanan
Bagi diri sendiri, hal itu bisa memicu rasa frustrasi, marah, hingga merasa ditolak saat tak mendapat dukungan. Sementara di sisi lain, teman kita mungkin merasa tertekan atau merasa tidak dihargai.
“Lama-kelamaan, konflik seperti ini bisa menimbulkan stres berkepanjangan dan membuat kita menarik diri atau kehilangan rasa percaya satu sama lain,” kata psikolog yang berpraktik di Personal Growth itu.
Alyssia menyampaikan bahwa dalam menjaga komunikasi agar tetap sehat dengan teman yang berbeda pandangan, salah satunya bisa memilih waktu yang tepat untuk berdiskusi, di mana jika salah satu pihak sedang emosi lebih baik menunda percakapan.
“Tetap ingat values dan tujuan utama untuk hubungan kalian (apakah tujuannya untuk bisa saling mengerti, atau untuk memenangkan perdebatan),” imbuh dia.
Kemudian, disarankan agar sebelum berdiskusi, kedua pihak membuat kesepakatan tentang batasan topik yang bisa dibicarakan.
Semisal, jika pembicaraan politik terlalu memicu emosi, buatlah kesepakatan untuk membatasi pembicaraan pada hal-hal tertentu yang lebih aman.
“Gunakan ‘I statements’, supaya terdengar netral dan tidak menyerang. Contohnya ‘aku merasa..’, ‘menurut aku..’, daripada ‘kamu tuh selalu..’,” jelas dia.
Lebih lanjut, Psikolog klinis yang juga tergabung sebagai anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) itu menekankan dalam menghadapi perbedaan pandangan dengan teman penting untuk bisa saling mendengar dan belajar saling memahami.
Menurut dia, teman yang layak dipertahankan adalah mereka yang tetap respect dan mau mendengar meski berbeda pendapat, tanpa meremehkan atau merendahkan.
“Bisa menghargai batasan kita, termasuk saat kita butuh waktu sendiri, serta menunjukkan rasa peduli dan berusaha menjaga hubungan tetap sehat,” ujar Alyssia.
Baca juga: Kiat bantu anak mempunyai lingkungan pertemanan yang positif
Baca juga: Kiat membangun keterampilan interaksi sosial yang positif bagi anak
Baca juga: "Not Friends", menelusuri tentang pertemanan versi anak sekolahan
Pewarta: Sri Dewi LarasatiEditor: Mahmudah Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.